
Kantor sudah nyaris gelap. Satu-satunya cahaya terang yang tersisa berasal dari divisi Tim Kreatif. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, tapi revisi mendadak tak memberi mereka pilihan untuk pulang lebih awal.
Hanya tersisa Angga, Anggi, dan Natalie di ruangan ini. Mira sudah pulang dari siang tadi karena sakit. Keenan sudah telanjur membeli tiket kereta untuk pulang ke rumah ibunya malam ini. Dan Rafa harus berangkat ke luar kota dini hari besok karena ada keperluan kampus, jadi tidak bisa ikut melembur.
“Nat.” Angga mendatangi Natalie yang sedang bermain ponsel di mejanya. “Kamu pulang aja.”
Natalie mendongakkan wajahnya. “Saya diusir nih?”
“Lembur ini kan bukan jobdesk kamu,” ucap Angga.
“I know. Saya cuma mau nemenin Anggi.”
“Anggi yang minta?”
“Enggak, sih, Pak. Saya Inisiatif sendiri.”
“Kalau gitu nggak perlu. Udah ada saya.”
Natalie menyipitkan matanya. “Eyy … ”
“What?” Angga mengernyit heran.
“No what-what.” Natalie cengar-cengir.
Anggi yang baru kembali dari toilet mengerutkan kening saat melihat Natalie. “Eh, Nat, kok masih di sini?”
“Tuh kan,” sahut Angga. Terdengar lebih semangat dari yang ia maksudkan. “Anggi aja bingung kenapa kamu masih di sini.”
Natalie tak menghiraukan Angga. “Gue mau nemenin lo.”
“Nggak usah, Nat,” balas Anggi. “Nggak apa-apa. Lo pulang aja.”
“Lo nggak apa-apa berdua doang sama Pak Angga?”
Angga langsung menyela. “Emang kenapa?” Tidak bermaksud sewot, tapi kedengarannya seperti itu.
Natalie balas sewot. “Ya nggak kenapa-kenapa sih, Pak. Emang nggak boleh saya nemenin Anggi?”
Anggi buru-buru menengahi sebelum dua orang di hadapannya saling lempar komentar pedas. “Udah, Nat. Nggak apa-apa. Aman kok, beneran. Mending lo pulang biar bisa istirahat. Capek kan dari pagi mondar-mandir mulu?”
Natalie masih tampak ragu, tapi akhirnya ia menghela napas dan mengambil tasnya sebelum berdiri. “Beneran, nih, ya? Kalau ada apa-apa, telepon gue.”
Anggi tersenyum lebar dan mengacungkan jempol.
Sebelum keluar, Natalie sempat menatap Angga tajam. Dengan dua jarinya, dia menunjuk ke matanya, lalu ke Angga—I’m watching you.
Angga hanya menatap balik tanpa ekspresi, tidak terpengaruh sedikit pun.
Sepeninggal Natalie, Anggi kembali duduk di mejanya dan melanjutkan dokumen yang harus ia rampungkan. Sementara Angga, entah sejak kapan sudah membawa laptopnya sendiri dan mengambil posisi di sebelah Anggi.
“Makan, yuk?” ajak angga tiba-tiba.
“Bapak duluan aja,” balas Anggi tanpa mengalihkan fokus.
Angga tidak menggubris jawaban itu. Ia sudah membuka aplikasi pesan antar di ponselnya. “Kamu mau makan apa?”
“Bapak makan duluan nggak apa-apa, Pak. Saya belum lapar.”
“Bukan itu jawaban dari pertanyaan saya.”
Jemari Anggi berhenti di atas keyboard. Ia menoleh gugup. “Sa—saya ngikut Bapak.”
Angga kembali ke ponselnya, menelusuri pilihan restoran terdekat. “Keprabon mau?”
“Boleh, Pak.”
“Level berapa?”
“Dua.”
“Minumnya?”
“Es teh manis.”
Angga menyelesaikan pesanannya tanpa banyak bicara. Beberapa menit berlalu, hingga notifikasi masuk ke ponsel Angga.
“Udah nyampe makanannya. Saya ambil dulu.” Angga bangkit dari tempat duduknya.
“Saya aja, Pak, yang ambil,” ujar Anggi cepat.
“Nggak. Kamu tunggu di sini.”
“Bapak udah mesenin, jadi biar saya yang turun.”
“Berdua kalau gitu.”
Anggi tak punya pilihan selain menurut.
Setelah mengambil makanan, mereka duduk bersisian di sebuah sofa. “Ini totalnya berapa, Pak?” tanya Anggi.
Angga menelan makanannya. “Nggak usah. Saya yang traktir.”
“Serius, Pak?”
“Muka saya kelihatan bercanda, kah?”
Anggi menahan tawa. “Ya udah, makasih, Pak.”
“By the way,” kata Angga. “Sejauh ini ada kendala nggak, kerjaan kamu?”
Anggi menyesap es teh manisnya, berpikir sejenak sebelum menjawab. “Hmm... kemarin tuh sempat ada bentrok sama jadwal talent. Tapi udah beres kok, Pak. Dia udah konfirmasi bisa ikut syuting sesuai rundown.”
Angga mengangguk. “Bagus.”
“Bapak sendiri ada kendala?”
Angga mengangkat bahu. “Finance masih agak lambat proses reimburse-nya. Jadi harus di-follow up terus.”
Sehabis makan, mereka melanjutkan pekerjaan masing-masing dalam hening. Anggi mengetik beberapa kalimat di dokumennya, lalu berhenti sejenak. Ia menggulirkan layar ke atas, membaca ulang tulisannya, tapi masih merasa ada yang kurang.
Ia lalu menggeser laptopnya ke arah Angga. “Pak, kalimat ini udah oke belum?”
Angga mencondongkan badannya ke samping, membaca sekilas tulisan di layar Anggi. Tidak butuh waktu lama sebelum ia mengangguk kecil. “Udah.”
“Okay.”
Saat Anggi kembali memusatkan perhatian pada tugasnya, ada satu hal yang membuat Angga sedikit merasa terganggu. Cahaya lampu yang jatuh tepat di wajah Anggi menyoroti detail yang selama ini luput dari perhatian Angga.
Jika diamati lebih dalam lagi, mata cokelat Anggi terlihat berkilau laksana sisa embun di atas kayu. Bibir ranumnya sedikit mengerucut saat berpikir, dan helai rambut yang jatuh di pelipisnya tampak seperti benang sutra yang halus.
Seketika Angga merasakan keinginan tak wajar untuk menyentuh pipi Anggi. Entah sadar atau tidak, ia sudah setengah jalan mengangkat lengannya, nyaris bergerak ke arah wajah lelaki itu.
Tapi sebelum Angga sempat mendaratkan jemarinya, suara Mama terngiang begitu jelas di kepalanya, seakan wanita itu berbisik langsung di telinganya.
“Nggak ada yang namanya happy ending. Semua yang kamu lihat di film-film itu bohong. Mereka mengakhirinya di sana, karena kalau dilanjut, adegan selanjutnya bisa menjadi lebih buruk.”
Angga buru-buru menarik tangannya lagi. Anggi menoleh tepat setelah itu.
“Pak, untuk bagian ini, menurut Bapak lebih bagus kalau kita pakai visual yang lebih terang atau agak muted?”
Angga butuh satu detik untuk mengembalikan kewarasannya. “Muted,” jawabnya singkat.
“Alright.”
[]