“Yuk balik,” ucap Jungwon setelah meletakkan bunga dan memanjatkan doa untuk kakaknya.
Jihan dan Sunoo berbalik mengikuti Jungwon. Namun, ketiganya langsung membeku ketika melihat seorang wanita dan anak laki-lakinya berdiri dengan jarak sepuluh langkah dari mereka.
“Mami...” lirih jungwon.
“Ngapain kamu ke sini?” Wanita itu mendekat.
“Mam,” cegah Riki—pemuda yang datang bersama wanita itu.
“Masih berani kamu ke sini? BERANI KAMU DATENGIN SUNGHOON?”
“Mi, udah, mi.” Pemuda itu masih mencoba menenangkan sang ibu, sedangkan Jungwon hanya bisa menunduk menahan air mata dengan kedua tangan terkepal di sisi tubuhnya.
“HARUSNYA KAMU YANG BERBARING DI SANA BUKAN SUNGHOON!” Mami menangis dan memukul dada Jungwon berkali-kali. “HARUSNYA KAMU YANG MATI, BUKAN ANAKKU!”
“Mami, stop—” Riki berusaha menghentikan mami, begitu juga dengan Sunoo dan Jihan yang berusaha memisahkan mereka.
“JANGAN DEKET-DEKET SUNGHOON LAGI, PEMBUNUH!”
“Maafin aku, Mi ... Aku ... Maaf ...” bahu Jungwon bergetar hebat. Air matanya tidak bisa ditahan lagi. Ia kesulitan bernapas. Dadanya terasa sangat sakit, entah karena pukulan mami atau perkataan mami. Mungkin keduanya.
Riki memeluk mami yang masih menangis histeris. Kedua netranya menatap Jihan dan Sunoo, memberi isyarat agar mereka segera membawa Jungwon pergi dari sini.
Sampai di mobil, Jihan meminta Sunoo untuk menyetir mobilnya agar ia duduk menemani Jungwon di belakang. Jungwon masih menangis, napasnya tersendat-sendat. Jihan dan Sunoo tidak bisa membayangkan betapa menyakitkannya semua ini untuk Jungwon.
“Jangan dimasukin ke hati, ya, kata-kata Mami lo tadi,” ucap Jihan sambil mengusap punggung Jungwon. “Semuanya udah takdir Tuhan. Kita gak tau kapan kecelakaan bisa terjadi. Lo bukan pembunuh. Lo layak buat hidup.” Kemudian ia mendekap Jungwon dan membiarkan air mata cowok itu membasahi blazernya.
***