
Setiap genre film memiliki daya tariknya sendiri, tetapi tidak ada yang bisa menyaingi pesona komedi romantis. Meskipun sering kali klise dan mudah ditebak, genre ini tetap memiliki tempat khusus di hati banyak orang. Sebab, di tengah kerasnya realitas, genre ini menawarkan pelarian di mana kebahagiaan terasa dekat dan akhir yang manis hampir selalu terjamin.
Di usianya yang ke dua belas tahun, Angga diperkenalkan dengan genre ini oleh Mama untuk pertama kalinya.
Awalnya, Angga tidak terlalu terkesan dengan film-film semacam itu. Namun, melihat senyum dan tawa Mama yang meluncur di sela adegan lucu, serta ekspresi tersipunya saat adegan romantis, Angga pun tanpa sadar ikut menikmati film tersebut.
Sejak saat itu, menonton film komedi romantis di ruang keluarga menjadi rutinitas mingguan Angga bersama Mama. Mereka tidak pernah bosan meskipun mengulang film yang sama untuk kesekian kalinya.
“What makes you so in love with this kind of movie, Ma?” tanya Angga suatu hari, di sela-sela adegan lucu yang membuat Mama tertawa geli.
“The happy endings,” jawab Mama tanpa melepas fokus dari layar televisi. “Mama suka happy ending-nya,”
“Do you have one?”
“A happy ending?” Mama menoleh. “Of course I do.” Ia merangkul Angga dengan erat dan mengecup puncak kepalanya. “You. You are my happy ending. You and your dad.”
Bagi Angga, Mama adalah wanita paling fairytale yang pernah ia temui. And her life is a fairytale indeed; seorang mahasiswi yang berhasil meluluhkan hati kakak tingkatnya dengan menulis surat cinta setiap hari. Setelah lulus, mereka menikah dan membangun keluarga kecil yang bahagia, lengkap dengan putra tunggal mereka yang tampan dan cerdas. Mama benar-benar memiliki kisah romantisnya sendiri, dengan akhir bahagia yang memukau.
Namun, semuanya tak lagi sama ketika Angga berusia lima belas tahun. Tak ada lagi keharmonisan yang menjadi fondasi keluarga mereka. Tak ada lagi malam minggu bersama Mama dan film komedi romantis yang selama ini menjadi salah satu penghubung mereka.
Suatu sore, Angga berdiri di ambang pintu kamar utama. Ia melihat Mama dengan wajah penuh amarah, buru-buru memasukkan pakaian-pakaiannya ke dalam koper besar. Ketika Mama menyeret koper itu menuju pintu, Angga berdiri di hadapan wanita itu, mencoba menghalangi jalan keluar.
“Ma ... do you really want to leave us?” Angga menatap mama dengan mata bulatnya yang berkaca-kaca.
Mama terdiam, seolah ada keraguan yang menyelinap di balik amarahnya. Namun, akhirnya ia melangkah, memaksa Angga untuk menyingkir.
Setelah menyerahkan kopernya pada supir taksi yang menunggu di depan rumah, Mama memutar badan dan menatap putranya dengan hati yang hancur.
“Well, I’ve been wrong all this time,” kata Mama. “Nggak ada yang namanya happy ending. Semua yang kamu lihat di film-film itu bohong. Mereka mengakhirinya di sana karena adegan selanjutnya bisa aja bakal jadi lebih buruk.”
Mama masuk ke dalam taksi dan menurunkan jendela. “Ingat selalu pesan mama,” ucapnya sebelum taksi itu melaju.
Papa tiba-tiba berdiri di belakang Angga, menyaksikan pemandangan itu dengan sorot mata yang dingin. “Itu yang akan terjadi kalau kamu salah memilih pasangan,” ucapnya tanpa emosi. “Dia akan membangkang dan mengkhianatimu.”
[]