
perpaduan aroma sandalwood dan citrus khas satria menyambut indera penciuman kala ketika memasuki kamar cowok itu. kamar satria gak begitu luas — mungkin gak nyampe separoh kamar kala — tapi semuanya tertata sedemikian rupa.
titik pandang kala berlabuh pada sebuah gitar yang terletak di dekat meja komputer. kala gak pernah tau satria bisa main gitar. tapi satria langsung klarifikasi kalo dia emang gak bisa main gitar.
jadi gitar itu sebenernya punya harsa, dititipin ke satria karena orang tuanya harsa gak suka anaknya bermusik. harsa’s parents expect him to be a doctor, buat ngelanjutin tradisi keluarga. padahal harsa bakatnya di bidang seni. gak cuma musik, he is good at and loves everything about art. even he is an art himself.
kala ber-oh ria. sedikit banyaknya dia tau kalo harsa emang berbakat, and he knows how angelic harsa’s voice is. cowok itu emang cocok jadi penyanyi. tapi kala gak pernah nyangka kalo harsa ngelakuin itu sembunyi-sembunyi dari orang tuanya. tanpa berniat banding-bandingin, kala sedikit lebih bersyukur seenggaknya dia bisa ngasih tau papinya apa pun yang pengen dan sedang dia lakukan, and of course papi supports him selama itu bukan hal yang ngerugiin.
kala ngambil pigura foto yang terpajang di atas sebuah rak. di dalam foto itu ada potret anak kecil bersama seorang wanita yang memiliki figur wajah gak jauh berbeda dengan anak itu.
“ih ini kak satria ya? lucu banget mukanya cemong dibedakin!” kala ketawa gede.
“eh jangan liat yang itu. balikin sini.” satria nyodorin telapak tangannya dengan harapan kala langsung naruh benda itu tanpa banyak drama.
tapi gak semudah yang dibayangin. kala justru ngelindungin foto itu biar gak direbut pemiliknya. “gak mau!”
“kalaaaa. jangan nakal.”
“kenapa sih? gak ada yang aneh juga dari fotonya.”
“balikin selagi aku ngomong baik-baik.”
“gak mau wlee,” kala mencibir.
bagi satria, kala itu gemesin sekaligus nyebelin dalam waktu yang sama. satria gak bisa nahan diri buat gak gelitikin anak itu sekarang. “balikin gak!”
“kak — don’t, hahaha please.” kala mundur-mundur buat ngehindarin satria. gak butuh waktu lama bagi betisnya buat nabrak sisi tempat tidur satria dan menyebabkan kala jatuh terlentang di atasnya.
sedangkan satria, yang gak sempat antisipasi perhentian mendadak itu, jatuh tepat di atas kala. beruntung satria refleks gunain lengan sebagai tumpuan agar seluruh tubuhnya gak langsung nimpa kala.
“sorry — ” satria bergegas bangkit, tapi kala gak biarin itu.
kala pengen tetap kayak gini dalam beberapa momen ke depan. kala gak mau lewatin sedetik pun kesempatan berlian baginya buat nyelamin manik obsidian milik satria.
pandangan kala turun ke bibir ranum satria. dan ketika wajah itu mendekat perlahan, kala nutup matanya seolah dia udah serahin semuanya kepada satria.
kala bisa ngerasain aroma tembakau bercampur permen mint ketika bibir mereka bertemu. kala gak suka bau rokok. tapi entah kenapa ketika hawa itu menyeruak dari mulut satria, kala justru nikmatin dengan sepenuh hati.
satria moves his lips gently, so does kala. kupu-kupu dalam perut keduanya berterbangan semakin banyak. semua rasa yang gak tau sejak kapan tumbuhnya, semua rasa yang gak pernah — dan mungkin gak perlu — mereka ungkapin secara terang-terangan, kini tertuang dan melimpah dalam ciuman itu.
satria gak bisa mastiin dia bakal ngelakuin sejauh apa seandainya dia gak denger suara pintu utama dibuka diiringi dengan suara mamanya dari sana.
“kok cepet banget pulangnya?” bisik satria retoris. dia dan kala buru-buru bangkit dan ngerapihin diri masing-masing.
keduanya keluar dari kamar. ternyata mama gak sendiri. mama datang bersama seorang pria dan sebungkus makan siang yang porsinya hanya cukup untuk berdua.
satria tersenyum jenaka. ia udah siap-siap mau ngeledekin mama. namun, ekspresi itu berubah dalam waktu sepersekian detik, menyiratkan kebingungan mendalam ketika kala lontarin pertanyaan yang gak pernah satria duga akan dia dengar di saat seperti ini.
“papi ngapain di sini?”