
Kesibukan di lokasi syuting sedikit mereda karena sudah memasuki jam istirahat. Para staf, kru, dan talent berbaur di area prasmanan, mengambil makanan yang telah disediakan.
Setelah makan, Anggi kembali duduk di depan monitor, mengevaluasi adegan yang baru saja diambil. Namun, konsentrasinya buyar ketika seseorang mendekatinya dari samping.
“Anggi?”
Anggi melempar senyuman sopan. “Eh, halo, Mas Vincent.”
Pria itu terkekeh pelan. “Masih jam istirahat ini. Jangan kerja terlalu keras, nanti kecapekan, lho.”
“Nggak apa-apa, Mas. Saya cuma mau mastiin ini udah aman buat lanjut ke scene berikutnya.” Anggi berusaha kembali fokus ke layar, tetapi perasaannya mulai tidak nyaman.
Lengan Vincent tiba-tiba bertumpu pada sandaran kursi yang diduduki Anggi, membuat jarak mereka menjadi lebih sempit dari seharusnya. “Nanti habis syuting ini kamu mau ke mana?”
“Emm… langsung pulang, Mas.” Suara Anggi mulai bergetar. Ia sedikit tersentak ketika pria itu menyentuh pundaknya.
“Mau main dulu nggak sama aku?”
Anggi menegang, kedua tangannya terkepal di atas pangkuan. “M—maaf, Mas. Saya sibuk.”
Pria itu kini berani mengusap bahu Anggi. “Ayolah, jangan sok jual mahal gitu.”
Anggi nyaris tidak bernapas. Otaknya berputar mencari cara untuk keluar dari situasi ini tanpa membuat keributan. Tapi sebelum ia sempat melakukan sesuatu, suara berat yang begitu familiar menyela dengan tegas.
“Maaf, ini ada apa ya, Mas?”
Vincent menoleh kaget. Angga berdiri di belakangnya dengan ekspresi tenang seperti biasa.
“Oh, Pak Angga. Saya cuma ngobrol sama Anggi, kok,” ujar Vincent, berusaha terdengar santai meskipun gesturnya mulai gelisah.
“Ngobrol apa?”
Vincent mengusap tengkuknya. “Emm… cuma nanya kegiatan dia habis ini. Kalau free, saya mau ngajak hangout sebentar.”
“Apa jawabannya?”
“A—Anggi bilang ... sibuk.”
“Alright. Kalau begitu, Mas Vincent bisa pergi sekarang. Produser lagi nyariin Mas, kalau saya nggak salah dengar.”
“I–iya, Pak Angga. Saya pergi dulu.”
Sepeninggal pria itu, Angga tetap berdiri di samping Anggi, melipat tangan di depan dada. “Kamu nggak apa-apa?”
Anggi menelan ludah, mencoba menenangkan diri. “Ng—nggak apa-apa, Pak. Makasih...”
Angga memindai seisi ruangan, mengamati keadaan yang mulai ramai kembali. Para kru sibuk dengan tugas masing-masing, kamera sudah kembali dalam posisi siap, dan talent sedang berlatih dialog di dekat set. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan.
“Saya nggak akan jauh dari kamu.”
[]