Kelas 12 Semester 1
Suara bel pertanda pergantian jam pelajaran terdengar seperti alunan kidung kebebasan. Ketika sang guru matematika killer meninggalkan kelas, helaan napas massal meluncur seolah telah ditahan selama berjam-jam. Gemeretak tulang jemari yang kaku pun turut merayakan kemerdekaan singkat murid-murid ini.
Singkat, karena dalam waktu kurang dari satu menit, kekuasaan kelas langsung diambil alih oleh guru bahasa Inggris yang tidak kalah killer-nya.
Selagi sang guru menyiapkan bahan ajar, Joan merogoh ranselnya untuk mencari kamus yang wajib dibawa dalam mata pelajaran ini. Namun, sepertinya keberuntungan sedang tidak berpihak pada Joan. Ia lupa membawa kamusnya. Ia panik bukan main. Dan kepanikannya itu disadari oleh cowok yang duduk di bangku seberangnya.
“Psst! Joan!” Joan menoleh. “Nggak bawa kamus, ya?” Ia lantas menggeleng lemah sebagai jawaban.
“Nih, pake kamus gua aja.” Anak bernama Sergio itu menyodorkan sebuah buku tebal yang pas di genggamannya. “Kecil, sih, tapi lumayanlah biar gak diusir.”
Joan menatap kamus itu dan pemiliknya bergantian. “Terus lo gimana?”
“Tenang, gua punya dua.” Sergio tersenyum sambil menaik-turunkan alisnya.
Kamus itu kemudian berpindah tangan. “Makasih.”
“Sama-sama.”
Joan kembali menghadap ke papan tulis, namun sesekali bola matanya bergerak melirik Sergio yang sedang tertawa dengan teman di depannya. Joan berencana akan mentraktir Sergio saat istirahat makan siang nanti, sebagai ungkapan terima kasih karena telah menyelamatkan separuh hidupnya.
“Yang tidak membawa kamus, silakan keluar.” Miss Ellen mengucapkan kalimat andalannya sebelum memulai kelas.
Sejauh ini belum ada yang bergerak. Mungkin sudah pada kapok karena minggu lalu diberi hukuman menulis eksposition minimal dua lembar folio dengan tulisan tangan. Sampai akhirnya Joan mendengar kursi di sebelahnya berderit, ia refleks menoleh.
Sergio stands up and casually walks leaving his chair. Joan mendelik. Sergio telah berbohong padanya.
“Sergio!” Joan bangkit berdiri dengan mengangkat kamus milik cowok itu. Sergio tidak menggubrisnya dan melanjutkan langkah menuju pintu. “SERGIO, SEBENTAR!”
“Joandre!” tegur Miss Ellen membuat Joan mengurungkan niat mencegah Sergio meninggalkan kelas. “Keep silent.”
Joan mengonfrontasi Sergio di kantin ketika jam istirahat. “Lo ngapain, sih?”
Sergio mendongak santai. “Makan ketoprak. Mau?”
“Bukan itu maksud gue!” Joan berdecak frustrasi. “Kenapa lo bohong soal punya dua kamus?”
“Lah, gua emang punya dua,” balas Sergio. “Satu lagi di rumah.”
“Kamus Visual Arsitektur, punya tante gua,” tambah lelaki berkulit pucat itu sambil cengengesan.
Rasanya Joan ingin menyiram es teh manis milik Sergio ke atas piring ketopraknya. Ngeselin banget. Tetapi Joan sadar ia tidak seharusnya merusak makan siang Sergio setelah secara tidak langsung membuat cowok itu menerima hukuman yang seharusnya dibebankan pada Joan.
“Lo disuruh apa sama Miss Ellen?” tanya Joan kemudian.
“Bikin seribu vocabs sama artinya,” jawab Sergio, lebih terdengar seperti gumaman karena mulutnya dipenuhi potongan tahu dari ketoprak.
“I’ll help you with that,” ujar Joan. Seandainya Sergio menolak, Joan benar-benar akan mengguyur makan siangnya.
“Okay,” sahut Sergio tanpa menunggu lama.
Dan semuanya berawal dari sini.
Joan hanya bisa membantu membacakan kosakata dari kamus karena semuanya harus ditulis dengan tangan. Selama hampir satu minggu, setiap pulang sekolah, Joan selalu mengingatkan Sergio untuk mengerjakan hukumannya. Sergio nurut walaupun sebenarnya ia merasa tidak perlu melakukan itu, karena ia bisa membayar joki.
Hari ini hari Sabtu, dua hari sebelum deadline hukuman Sergio. Karena ingin suasana baru, Sergio kali ini meminta mengerjakannya di tempat lain selain di kelas, di rumahnya, atau di rumah Joan. Setelah perdebatan singkat, akhirnya mereka berdua sepakat memilih food court di sebuah mall.
“Zinc.”
“Artinya sampo, kan?”
“Seng, tolol!”
“Berarti sampo gua bisa dipake buat atap rumah dong?”
“Jangan bercanda dulu, ah! Tulis cepet tinggal satu lagi itu!”
Sergio terkekeh pelan sambil menuliskan kata keseribu di lembar folionya. “Selesai!”
“Let’s go home,” Joan memasukkan kamus dan sisa barangnya ke dalam tas.
“Ntar dulu lah.” Terdengar bunyi kertak saat Sergio meregangkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan. “Mau ngapain, sih, buru-buru amat?”
Joan juga tidak tahu. Yang jelas sekarang tenggorokannya terasa sangat kering setelah membaca 250 lebih kata untuk Sergio. “Gue haus.”
“Sama. Yuk beli minum dulu.” Sergio mengemasi barang-barangnya sebelum berdiri bersama Joan.
Mereka berhenti di depan sebuah kios teh. Joan memesan green tea strawberry, sedangkan Sergio memesan green tea mango. Setelah transaksi selesai, mereka turun ke lantai dasar mall dan duduk samping-sampingan di salah satu bangku panjang.
“Rame banget,” komentar Sergio memperhatikan pengunjung yang berlalu-lalang di depan mereka.
“Iya lah, kan Sabtu,” balas Joan.
“Iya, ya?” Sergio menoleh. “Berarti nanti malem Minggu, ya? Lu mau malming sama siapa, Jo?”
Joan mengedikkan bahu, menyuruput minumannya seraya mengayun-ayunkan kaki, tanpa berminat membalas tatapan Sergio. Or actually he is too nervous to handle that stare.
Sergio menaruh gelas minumannya di ruang kosong di antara mereka. Secara kebetulan dan tanpa sadar, Joan melakukan hal yang sama.
“Makasih, ya, udah bantuin gua,” kata Sergio.
“Don’t mention it,” balas Joan. “Lo dihukum karena nyelametin gue. Walaupun gue gak minta, gue yang harusnya berterima kasih.”
Sergio mengambil gelasnya lagi dan sesekali menggigit sedotan ketika menyeruput isinya.
“Sergio?”
“Hmm?” Yang dipanggil menoleh tanpa melepas sedotan dari bibirnya.
“Itu punya gue….....”
“Hah?” Sergio buru-buru mengecek gelas plastik yang ia pegang dan baru menyadari bahwa lidahnya menyentuh rasa stroberi, bukan rasa mangga. “So — sorry.” Ia mengembalikan gelaskan itu dengan gugup.
An awkward silence suddenly wraps around them. Kaki Sergio mendadak bergerak gelisah, sedangkan Joan mengedarkan pandangan kemana saja asalkan bukan Sergio, walaupun pada akhirnya matanya tetap tidak bisa diatur.
Ketika netra mereka tidak sengaja bertemu, keduanya kontan membuang muka. Dan mereka bertatapan untuk yang kedua kalinya, tidak ada satu pun yang mau berpaling duluan. Joan menelan salivanya dengan berat.
“Mau ... pulang sekarang … ?” tanya Sergio, tapi lebih terdengar seperti permintaan.
“Iya.” Joan mengangguk serius.
BRAK!
Pintu kamar Joan terhempas karena terdorong punggungnya. Di saat bibirnya fokus mengikuti irama Sergio, tangan Joan sibuk meraba pintu di belakangnya untuk menemukan kunci yang tercantol di gagang pintu. Got it! Joan memutar kunci itu dua kali.
Sergio menumpukan kedua telapak tangannya pada pintu, sementara Joan sebuk meremat rambutnya. Keduanya mabuk semabuk-mabuknya. Tidak ada yang bisa menghentikan mereka selain diri mereka sendiri.
Sergio menarik wajah ketika pasokan udara yang dirasakannya mulai menipis. Joan memandangnya tanpa protes karena ia juga sama terengahnya.
“Joan … .” lirih Sergio. “Can I be your boyfriend?”
Joan tidak langsung menjawab. Tangannya beralih menyapu bagian wajah Sergio, mengagumi setiap jengkal keindahan yang selama ini luput dari perhatiannya.
“Joan?”
“Uh — ” Joan mengerjap. “Yes, yes. We’re boyfriends now.”
And they went for another kiss.