
CoffeeIn sore ini cukup sibuk, tapi tidak sampai penuh sesak. Musik indie mengalun dari speaker, bercampur dengan suara mesin espresso yang menderu. Aroma kopi dan hawa dari pendingin ruangan menguar di udara tatkala Anggi mendorong pintu kaca itu.
Anggi menghampiri meja kasir yang sudah tidak ada antrean. “Saya mau pesan ice coffee latte satu. Less sugar, ya, Mbak.”
“Baik, Kak. Pesanannya atas nama siapa?” tanya barista dengan ramah.
“Anggi.”
Setelah membayar, Anggi menunggu di pojok sambil melirik ponsel sesekali. Ketika namanya dipanggil, ia buru-buru menghampiri counter dan mengambil minuman itu.
Namun, tepat saat berbalik, tubuhnya menabrak seseorang dengan cukup keras, membuat kopi di tangannya tumpah mengotori kemeja putih pria yang berdiri di hadapannya.
“Oh, ya ampun! Maaf, Mas!”
Pria itu menatap noda kecoklatan di kemejanya dengan alis terangkat. Ia tak berkomentar sepatah kata pun, hanya menghela napas panjang.
Panik, Anggi meletakkan gelasnya di meja terdekat dan mengeluarkan tisu dari dalam tas. “Aduh, maaf banget, Mas. Saya beneran nggak sengaja.” Ia menyodorkan tisu dengan tangan gemetar.
Pria itu menyambar tisu dari tangan Anggi tanpa menatapnya, lalu mengelap noda di kemejanya walaupun berujung sia-sia.
“Gimana kalau saya laundry-in kemejanya?” tawar Anggi. “Atau saya bayarin dry clean? Atau … atau saya beliin baru aja gimana?”
“Nggak usah.” Pria itu masih tak berniat menatap Anggi.
“Tapi, Mas—”
“Nggak perlu,” potongnya acuh tak acuh. “Saya bisa urus sendiri. Lain kali hati-hati.”
Anggi menggigit bibir. “Kalau Mas berubah pikiran, Mas bisa simpan nomor ponsel saya—”
Pria itu melangkah pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Anggi berdiri terpaku, memandangi pria itu mengambil pesanannya lalu meninggalkan coffee shop tanpa memedulikan keberadaan Anggi.
[]