
Hair holds memories, they say. That’s why memotong rambut sering dianggap sebagai simbol move on, baik dari problematika hidup maupun percintaan. Tapi Elio tidak setuju. Tak ada dampak emosional yang dia rasakan setiap memangkas rambutnya, kecuali rasa puas karena wajahnya bertambah tampan.
Pernyataan yang benar bagi Elio adalah, places hold memories, even stronger than the hair does. Satu tempat mampu melempar ingatan Elio pada sejuta kenangan. Bahkan memori yang tersimpan selama lebih dari dua puluh tahun pun masih bisa Elio rasakan dengan nyata ketika dia melewati tempat tertentu.
Seperti pada saat melewati taman bermain kompleks, Elio melihat sosok kecil dirinya berjongkok mengais-ngais pasir dengan menyedihkan. Kala itu, Elio dan ibunya baru pindah ke kompleks ini, jadi Elio belum punya teman dan dia pun tak tahu bagaimana caranya berteman. Ketika sedang menggambar sesuatu di atas pasir dengan menggunakan ranting, datang segerombolan anak nakal menoyor kepala Elio dan mengejeknya karena dia tak punya ayah.
Tak lama kemudian, sebuah ransel tiba-tiba mendarat dengan keras di atas kepala salah satu anak nakal itu, sukses membuat yang lainnya tercenung. Belum sempat si korban meledak, pelakunya sudah melayangkan pukulan hingga anak nakal itu tersungkur. Pahlawan kecil itu kelak Elio kenal sebagai Samudra.
Empat anak nakal lain kemudian mengeroyok Samudra untuk membela temannya. Jujur saja, Samudra tak akan bisa melawan mereka semua sendirian. Oleh karena itu, Elio bangkit mencoba membantu Samudra. Namun, dari segi fisik maupun tenaga, jelas Elio tak sebanding dengan mereka. Akibatnya, tubuh ringkih itu terpelanting hanya dengan satu senggolan.
“Angkat tangan!” sebuah suara cempreng membuat ketujuh bocah lelaki di sana refleks menengok ke arah datangnya. Dalam jarak beberapa meter dari mereka, seorang gadis kecil dengan rambut kepang dua menodongkan pistol air berwarna kuning dan hijau neon di tangan kanan dan kirinya. Wajah imutnya tampak garang dan serius. Nanti, setelah keributan ini berakhir, gadis itu akan memprekenalkan dirinya kepada Elio sebagai Clara.
“Lepasin Sam! Atau kalian aku masukin ke penjara!” She tried to look brave, she had to. Karena kata omnya, Clara harus berani melawan kejahatan jika benar-benar ingin menjadi polwan ketika dewasa nanti.
Namun, yang Clara peroleh dari keberaniannya itu adalah tawa meremehkan dari kelima anak nakal tersebut, dan cibiran bahwa bocah perempuan seperti dia tak mungkin bisa menjebloskan orang ke penjara.
“Bisa! Om aku polisi! Dia bisa masukin kalian ke penjara!” Clara semakin mendelik. Elio khawatir bola mata gadis itu akan menggelinding meninggalkan tempatnya.
Akhirnya anak-anak nakal itu membebaskan Samudra. Bukan karena takut ancaman penjara, melainkan karena tertarik untuk membuat masalah dengan Clara. Clara tak bisa menutupi rasa gentar ketika mereka berjalan menghampirinya. Kendati demikian, Clara tak diam begitu saja. Dia menembakkan air ke wajah berandal-berandal cilik itu walaupun tangannya sedikit bergetar.
“Mampus! Rasain! Berani kamu sama aku? Rasain ini! Liat aja! Nanti pas udah gede, udah jadi polwan, aku masukin kalian ke penjara. Mampus!”
Ketika anak-anak nakal itu mulai kewalahan dengan serangan pistol air Clara, Samudra dan Elio mengambil kesempatan untuk balas menghajar mereka. Kerja sama ketiganya berhasil membuat kelima anak itu lari terbirit-birit.
Elio, Samudra, dan Clara tumbuh bersama semenjak kejadian itu. Saling menemani, saling melindungi, dan saling memberi dukungan. Meskipun mereka juga punya teman lain di sekolah, ketiganya tetap saling kembali untuk sesuatu yang lebih pribadi. They are home for each other.
Akan tetapi, ada satu hal yang tak bisa Elio ceritakan pada kedua sahabatnya, yaitu tentang perasaannya kepada Samudra.
Usia empat belas tahun adalah usia di mana Samudra berpacaran untuk pertama kalinya. Ketika itu lah Elio menyadari sesuatu yang luput dari perhatiannya selama ini. It took some times for Elio to admit that he was jealous, that he was in love with his best friend.
Tentu saja ini adalah hal yang sangat riskan untuk dia ceritakan kepada siapapun, terutama Clara. Sebagai seorang perempuan yang senang meromantisasi kehidupan, Clara selalu berharap agar mereka bisa berteman seperti ini selamanya. Elio tentu tak ingin merusak harapan itu hanya karena perasaan bodohnya.
Tetapi, pada dasarnya hidup itu dinamis. Setiap aspek dalam kehidupan manusia pasti akan mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Bahkan ketika berusaha untuk mempertahankannya, masih saja sulit untuk menghindari perubahan itu.
Seperti Clara tak lagi bercita-cita menjadi polwan karena tergiur kisah alumni yang keliling Indonesia dengan profesi pramugari. Atau Samudra yang benci matematika setengah mampus tiba-tiba menyukai mata pelajaran itu setelah siuman pasca operasi usus buntu. Berbanding terbalik dengan Elio yang sudah mual dengan hitung-hitungan sehingga memutuskan untuk lintas jurusan.
Seperti perubahan yang terjadi pada pribadi mereka, seperti itu pula perubahan melanda persahabatan mereka. Bukan karena rasa yang perlahan surut, melainkan karena ada hal lain yang harus dikejar. Setelah tumbuh lebih dewasa dan memiliki jalan masing-masing, ketiganya menyadari bahwa kesibukan hidup membuat persahabatan mereka mustahil akan sama seperti ketika masih sekolah.
Sembilan tahun berlalu semenjak hari kelulusan SMA. Clara sudah menginjakkan kaki di seluruh provinsi di Indonesia serta beberapa negara di dunia, dan bermimpi untuk menjelajah lebih banyak lagi. Samudra baru saja menamatkan pendidikan magister arsitekturnya di Jepang dan sedang menimbang apakah akan membuka firma sendiri di Indonesia atau bergabung dengan perusahaan besar di sana.
Hanya Elio yang masih bertahan di sini, di kompleks ini, di negara ini. Elio tidak memiliki ambisi sebesar kedua sahabatnya. Bekerja sebagai staf editorial di sebuah kantor media yang berada tak jauh dari rumahnya sudah cukup bagi Elio. Karena yang terpenting bagi Elio adalah menjaga dan melindungi ibu setiap hari.
“Sudah pulang, El?” tanya ibu retoris.
“Heem,” balas Elio sambil membuka sepatu dan kaus kakinya. “Ibu masak apa? Wangi banget.”
“Ini ibu lagi bikin tumis bayan. Ada ayam rica-rica juga kalau kamu mau makan,” kata ibu. “Oh, ya, tadi ada undangan buat kamu di mailbox. Sudah ibu taruh di meja kamu.”
“Undangan apa, Bu? Dari siapa?"
Ibu mengangkat bahu, “Undangan pernikahan, tapi nggak tahu dari siapa. Ibu nggak sempat baca.”
“Oke, deh. Aku mandi dulu, ya.” Elio menaruh sepatu ke dalam rak sebelum naik ke kamarnya.
Undangan berwarna hitam dengan pita emas itu terlihat kontras dengan permukaan meja kerja Elio yang berwarna putih gading. Elio lalu membuka plastik pembungkus undangan itu, pelan-pelan meraba sampul beludrunya yang lembut, dan mencoba tersenyum ketika membaca inisial kedua mempelai; S&C.
“It’s been a long time, right?”